Bagaimana Generasi Milenial Bisa Mendukung Program Langit Biru
Melihat langit biru jernih tanpa polusi merupakan kemewahan bagi warga di kota-kota besar di Indonesia. Biasanya langit keabuan yang dihiasi kabut asap dari polutan kendaraan atau pabrik menjadi pemandangan sehari-hari.
Pada awal pandemi Covid-19, kita sempat menikmati indahnya langit biru jernih yang sesekali dihiasi awan putih. Bahkan gumpalan awan kumulonimbus pun tidak lagi terlihat suram meski berarti hujan akan segera mengguyur bumi.
Sayangnya, begitu program pembatasan sosial berskala besar dihentikan, perlahan langit menjadi tidak biru lagi. Padahal, pemerintah sendiri sudah punya Program Langit Biru, lho. Apakah teman-teman pernah dengar?
Bagaimana Generasi Milenial Bisa Mendukung Program Langit Biru
Program Langit Biru merupakan program yang bertujuan mengantisipasi krisis lingkungan akibat polusi (udara) yang dicetuskan oleh barang tidak bergerak atau barang bergerak.
Wajar sih kalau belum familiar. Karena meskipun program ini sudah digaungkan sejak 25 tahun yang lalu oleh Kementerian LH via Permen LH No. 15 Tahun 1996, belum banyak sosialisasinya di kalangan masyarakat terutama generasi milenial. Bahkan Banadhi Kurnia Dewi, Putri Pariwisata Indonesia 2017 mengaku baru mengetahui Program Langit Biru dari event Diskusi Publik Penggunaan BBM Ramah Lingkungan Guna Mewujudkan Program Langit Biru yang diselenggarakan oleh YLKI (Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia) dan KBR (Kantor Berita Radio).
Diskusi publik virtual itu dihadiri oleh perwakilan pemerintah seperti Dinas ESDM, Dinas Kesehatan, Dinas LH, tokoh publik, perwakilan dari LSM dan tentunya YLKI. Selama 4 jam secara bergantian para tokoh yang peduli dengan lingkungan ini bergantian memaparkan opini, data dan fakta tentang program langit biru.
Seperti yang sudah diutarakan di atas, salah satu penyebab langit Indonesia tak lagi biru adalah polutan kendaraan bermotor (ranmor). Ini diambil dari data yang disajikan oleh YLKI bahwa sumber utama polusi udara adalah barang bergerak yaitu sektor transportasi darat 75%. Bahkan menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yang dikutip oleh Antara News, 90 persen CO di udara perkotaan berasal dari emisi kendaraan bermotor. Hal ini disebabkan oleh gas buang dari BBM yang tidak ramah lingkungan.
Padahal, sebenarnya untuk mendukung program langit biru, pada tahun 2003 melalui Kepmen LH No. 141/2003 pemerintah sudah mengatur zat buang pada ranmor dengan menyarankan penggunaan BBM standar Euro 2. Dan dikuatkan dengan Kepmen KLHK No. 20/2017, yang mewajibkan ranmor menggunakan BBM standar Euro 4. Yaitu, bahan bakar dengan research octane number (RON) di atas 91 dan kadar sulfur maksimal 50ppm.
Sayangnya, karena faktor ekonomi dan pasokan yang belum merata, penggunaan BBM ramah lingkungan ini bisa dilakukan oleh semua pengguna ranmor. BBM ramah lingkungan dengan RON di atas 91 memang saat ini harganya masih di atas BBM bersubsidi. Sehingga banyak pemilik ranmor yang memilih menggunakan BBM bersubsidi.
Padahal, meskipun kelihatannya lebih murah, penggunaan BBM beroktan rendah membuat mesin ranmor cepat rusak. Karena kebanyakan ranmor keluaran terbaru nggak lagi kompatible dengan BBM beroktan di bawah 91. Bahkan seharusnya untuk ranmor keluaran 2018 menggunakan BBM dengan nilai oktan 98.
Lagipula kilometer yang bisa ditempuh dengan BBM beroktan rendah lebih sedikit daripada yang beroktan tinggi. Jadi mobil yang sama bisa menempuh kilometer lebih banyak jika menggunakan Pertamax daripada Premium. Tarikan mesin mobil juga lebih ringan.
Selain itu ya BBM dengan nilai oktan rendah tentu tidak ramah lingkungan. Dan lingkungan yang penuh dengan polusi tentu akan membawa efek negatif pada kesehatan.
Nah, kalau Program Langit Biru ini belum menjadi prioritas bagi pemerintah, bukan berarti kita sebagai generasi milenial bisa abai. Karena kita sendiri yang ikut merasakan efek negatif dan pencemaran udara, kan.
Berikut adalah beberapa cara yang bisa kita lakukan untuk membantu menyukseskan Program Langit Biru:
1. Mengedukasi Diri tentang BBM Sebelum Memutuskan Membeli Ranmor
Cara ini sempat disinggung dalam Diskusi Publik yang saya sebutkan di atas. Jadi, sebelum memutuskan membeli kendaraan bermotor, sebaiknya kita banyak mengedukasi diri tentang kendaraan tersebut. Apa mesinnya, apa BBMnya dan bagaimana perawatannya.
Karena punya kendaraan bukan sekadar bisa beli, tapi juga biaya-biaya lain di belakangnya. BBM, ongkos jalan tol, maintenance, pajak, asuransi dan sebagainya. Sehingga saat membeli ranmor jangan hanya sekadar gengsi beli Fortuner tapi cuma mampu beli Pertalite. Kasihan mesin mobilnya nanti.
2. Menjadi Agent of Change
Di era digital ini, social networking menjadi sarana penting untuk menginfluence orang. Coba lihat, kita akan lebih mudah tergiur untuk mencoba kafe baru yang sedang hits dan dipromosikan oleh teman atau influencer daripada iklan di televisi, kan.
Pemerintah bisa memanfaatkan para influencer untuk mengajak follower mereka menggunakan BBM ramah lingkungan. Karakter umum generasi milenial yang nggak maua ketinggalan tren bisa digunakan untuk menjadi agent of change.
Seperti seruan penggunaan tumblr saat membeli kopi atau sedotan dari stainless steel yang berhasil membuat banyak generasi milenial mengurangi sampah plastik. Nah, kita bisa menggunakan cara yang sama untuk mempengaruhi keluarga, teman atau pengikut kita di media sosial.
Misalnya dengan bercerita, “Eh, 2 minggu lalu gue isi Scoopy gue pakai Pertamax full tank, kan. Masa udah dipake bolak-balik rumah – kantor yang jarak pulang perginya 50 km itu selama 2 minggu belum abis. Berasa irit banget deh.”
Atau dengan cara yang agak kaya social justice warrior seperti, “Hah, hari gini lu masih pakai Premium, Bre? Kasian lah mobil lu kan keluaran 2017, ntar cepet rusak mesinnya. Ganti Pertalite deh, nggak beda jauh juga harganya, tapi lebih ramah mesin.”
Dengan cara ini, generasi milenial yang kritis tentu akan mempelajari lebih lanjut tentang BBM serta pengaruhnya terhadap mesin. Dan meskipun nggak bisa instan kalau dilakukan secara masif dan terus-menerus tentu akan membangun kesadaran.
Tentunya akan lebih asik lagi kalau pemerintah juga menghapus Premium atau BBM sejenis yang beroktan rendah serta mengalihkan subsidinya ke Pertalite atau Pertamax ya.
3. Mengurangi Penggunaan Ranmor
Cara ketiga adalah dengan mengurangi penggunaan kendaraan bermotor. Kalau di Jakarta mungkin hal ini akan mudah karena sudah banyak sekali moda transportasi umum yang nyaman disediakan oleh pemerintah. Tapi bukan berarti kita yang di luar Jawa, Madura dan Bali nggak bisa melakukannya.
Kalau kendaraan umum kurang nyaman, kita bisa mengakalinya dengan meminimalkan keluar rumah jika tidak penting sekali. Atau mengajak teman yang rumahnya searah untuk naik satu mobil saja ke kantor, dengan patungan uang bensin. Untuk jajan bakso atau ke minimarket yang dekat-dekat saja bisa jalan kaki atau naik sepeda. Mumpung naik sepeda dan olahraga jalan kaki sedang tren, lo. Dengan begitu kita juga membantu mengurangi polusi udara, kan.
Mengurangi penggunaan Ranmor udah tak lakukan sih mbak sejak dulu, sepeda user dan lover juga. Aku bakal pakai ranmor kalau jauh banget tapi selagi bisa dijangkau dengan jalan atau sepeda wkwk
ReplyDeleteSayang sekali sepertinya program Langit Biru yg bagus itu kuranv tersosialisadi ya. Nah dg tulisan2 semacam ini semiga bisa menjadi bag dr sosialisasi..
ReplyDeleteWaktu tinggal di Jakarta emang hampir selalu naik kendaraan umumm karena memang banyak moda pilihan transportasi yah, paling enggak mengurangi polusi kendaraan pribadi hihi!
ReplyDeleteSemoga kendaraan listrik makin masif dan harganya makin murah ya. Jadi biar kita bisa melihat langit biru setiap hari. Btw, kendaraan listrik sbg transportasi umum jg wajib dimasifkan produksinya ya.
ReplyDeleteSejak PPKM kayanya langit Jakarta udah sedikit membiru ya kak karena kendaraan juga dibatasi. Saya sdh pakai BBM ramsh lingkungan lho untuk mewujudkan langit biru
ReplyDeleteSebenarnya pandemi ini jadi moment yang bikin langit kembali biru ya.. Tapi pasti semuanya gak betah lama-lama serba terbatas.. Tinggal kitanya nih bijak dalam menggunakan BBM..
ReplyDeleteKangen langit biru emang harus ada ada efford yang gede ya kak. Dengan menggunakan transportasi umum salah satunya, tapi yaa gitu masalah rute transportasi umum belum beneer2 efektif. Contohnya didaerah rumahku 😔
ReplyDeletelangsung ingat bengek berapa hari lalu gegara langis jadi abu dan berbau asap..uhuhuh , ayo pin, kita buru orang yg sengaja bakar lahan dan bikin langit rusak dan gue bengek
ReplyDeleteSesuatu yang harus dilepaskan milenial adalah gengsi kepemilikan kendaraan, hal ini bisa mendukung program langit biru pastinya
ReplyDeleteAyo sma2 dukung program langit biru ini. Beralih dari premium ke pertalite, syang lingkungan, sayang kendaraan
ReplyDeleteBetewe premium sudah mulai dikurangi suplay nya kak pin di Pekanbaru. Di beberapa spbu bahkan sudah ga ada. Dan program langit biru gini emang paling sering digaungkan yaa, mengingat akhir2 ini kualitas udara kita juga ga terlalu bagus.
ReplyDeleteSelain menjaga agar langit biru, jadi hemat energi juga ya, mengurangi pemakaian kendaraan pribadi.
ReplyDeleteDulu kami sempat memiliki azam untuk jarang memakai kendaraan bermotor. Tapi lama-lama karena suami pulang kerja kelewat malam, aku yang khawatir (dia bike to work, awalnya).
ReplyDeleteAkhirnya kembali menggunakan kendaraan pribadi.
Tapi kami sudah menggunakan BBM yang ramah lingkungan.
Semoga kita bisa bersahabat dengan alam.
Yes kita harus bisa menempatkan diri jadi agent of change minimal di lingkungan terdekat dulu yaa Mba, kontribusi minimal ga apa yg penting bisa konsisten yaa
ReplyDelete